1.
Realitas
Kesenjangan Sosial Ekonomi di Indonesia
Kesenjangan social mengacu pada kondisi ketimpangan
atau ketidakseimbangan antara kelompok-kelompok dalam masyarakat akibat
perbedaan status social dan ekonomi. Kesenjangan social ekonomi tampak nyata ketika
ada kelompok masyarakat yang tidak mampu memenuhi kebutuhan fisik dasarnya,
sehingga terpaksa menerapkan pola konsumsi “asal kenyang” atau menahan lapar
nyaris seharian, menderita busung lapar, mengenakan pakaian using, tinggal
dirumah tidak layak huni, putus sekolah, dan terpaksa meringis menahan sakit
karena ketiadaan biaya untuk mengakses layanan kesehatan. Sementara disisi
lain, ada kelompok masyarakat yang bergelimbang kemewahan hingga dapat
menikmati hidangan lezat di restoran bertaraf internasional, membalut diri
dengan pakaian bermerk terkenal, tingga dirumah atau apartemen mewah, dan
menikmati layanan kesehatan juga pendidikan terbaik bahkan hingga ke
mancanegara.
Kesenjangan social ekonomi terlihat nyata pula
ketika ada kelompok masyarakat hidup dalam kerentanan dan ketiadaan jaminan
masa depan karena penghasilan yang diperoleh hanya cukup untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari dan sama sekali tidak bersisa untuk ditabung sebagai
cadangan asset jika ada keperluan mendesak ( anggota keluarga yang jatuh sakit
atau mengalami kecelakaan, tertimpa kemalangan, dan lainnya ). Sementara
kelompok orang-orang terkaya, sebagaimana laporan Asia Wealth Report (dalam syawie, 2011), mampu menumpuk kekayaan
dalam bentuk deposito atau tabungan (33%), tanah atau bangunan (22%), saham
(19%), reksadana pendapatan tetap (16%), serta investasi alternative seperti
kurs mata uang asing atau logam mulia (10%).
Kesenjangan social menjadi masalah karena kondisi
tersebut akan menimbulkan jurang pemisah pada masyarakat. Para sosiolog dan
psikolog social menyebut jurang pemisah itu sebagai jarak social (social
distance). Dalam hal ini, suatu kelompok membatasi pergaulan dan menjaga jarak
dengan kelompok lain yang berbeda dari kelompoknya karena merasa berbeda, tidak
sederajat, atau tidak setaraf (Walgito,2008). Akibatnya potensi perpecahanpun
mengancam keutuhan masyarakat.
Bersamaan dengan timbulnya jurang pemisah ,
benih-benih kecemburuan pun lazimnya mulai tumbuh. Kelompok warga yang tidak
mampu memenuhi kebutuhan fisik dasar akibat belitan kemiskinan lambat-laun akan
merasa tertekan oleh keadaan yang serba terbatas. Dalam kondisi tertekan,
secara psikologis mereka akan mencari sasaran untuk menyalurkan emosi negative.
Salah satunya dapat berupa kecemburuan yang diarahkan pada kelompok warga lain
yang hidup serba mapan dan nyaman. Jika tak segera diatasi, letupan konflik
akan segera meluas.
2.
Upaya
menanggulangi kesenjangan social ekonomi
·
Melaksanakan berbagai program untuk
memastikan terpenuhinya kebutuhan warga miskin
·
Memberdayakan usaha mikro, kecil,
menengah, dan koperasi (UMKMK)
·
Menerapkan kebijakan yang bertujuan
mengikis jarak social antarwarga
·
Memberantas korupsi
3.
Kemiskinan
Di Indonesia, Kemiskinan merupakan masalah social
yang senantiasa relevan untuk dikaji. Ini bukan saja bahwa mengingat bahwa
masalah kemiskinan telah ada sejak negara ini didirikan dan masih hadir hingga
saat ini, melainkan juga karena kini keberadaannya semakin meresahkan
masyarakat seiring dengan berkembangnya kesadaran warga terhadap hak untuk
hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya, serta hak
atas hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin, sebagai
bagian dari hak asasi yang dikaruniakan oleh Tuhan Yang Maha Esa dan dijamin
penuh oleh UU No.39 Tahun 2009 tentang Hak Asasi Manusia.
4.
Penyebab
Kemiskinan
·
Kemiskinan Alamiah
Kemiskinan alamiah
disebabkan oleh daya dukung lingkungan yang tidak memadai untuk menopang
kehidupan manusia selayaknya. Daerah yang mungkin menyebabkan terjadinya kemiskinan
alamiah diantaranya adalah daerah yang tandus dan berbatu, tidak menyimpan
potensi tambang, dan seandainya terdapat perairan biasanya tidak berlimpah
kekayaan.
·
Kemiskinan Struktural
Kemiskina struktural
adalah kemiskinan yang disebabkan akibat lemahnya system atau struktur social
di dalam masyarakat. Masyarakat ,miskin seolah-olah dibuat tidak berdaya akibat
adanya pola kebijakan dan aturan dari pemerintah selaku penguasa yang dianggap
cenderung tidak berpihak apalagi untuk memerhatikan kondisi masyarakat miskin
agar dapat lebih mandiri dan berdaya. Fenomena social kemiskinan structural ini
bisa dilihat dari terbatasnya akses masyarakat miskin terhadap lapangan
pekerjaan dan sulitnya memperoleh pendidikan berkualitas.
·
Kemiskinan Kultural
Kemiskinan kultural ini
berasal dari merosotnya moral dan mentalitas akibat kebudayaan yang diyakini
dan dianut oleh suatu masyarakat. Fenomena kemiskinan kultural tampak dari
dipertahankannya sifat-sifat tertentu, seperti malas, tidak mau bekerja keras,
selalu menggantungkan hidupnya kepada belas kasihan orang lain, serta pasrah
pada nasib tanpa ada kemauan untuk berusaha dan bekerja. Kemiskinan kultural
ini masih dianggap sebagai masalah social yang sangat serius dan harus
ditangani agar masyarakat miskin dapat bangkit berdaya, berusaha, dan berjuang
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
5.
Kebijakan
Pengentaan Kemiskinan
Berbagai upaya untuk
mengentasakan kemiskinan telah dilakukan oleh pemerintah yang diaplikasikan dalam
wujud kebijakan dan program-program baik yang bersifat langsung maupun tidak
langsung. Kebijakan bersifat langsung yaitu berupa program yang langsung
diberikan kepada penduduk miskin, contoh;
bantuan tunai langsung
(BLT), raskin, sedangkan kebijakan tidak langsung, contoh program Jamkes-mas,
program IDT, BOS. Walaupun telah dilakukan berbagai upaya namun kemiskinan
tidak dapat dihilangkan seluruhnya, artinya fenomena kemiskinan dengan mudah
dapat dijumpai di hampir seluruh wilayah baik di perkotaan maupun di perdesaan. Program kemiskinan yang saat ini dilakukan
baik yang berasal dari pemerintah maupun non pemerintah umumnya hanya
sementara, artinya program tersebut akan berjalan selama masih ada anggaran
(dana), setelah dana habis maka selesai pula kegiatan program. Dengan kata lain
bahwa program-program kemis-kinan yang selama ini dilaksanakan berdasarkan
pada pendekatan projek dan bukan
pendekatan program.Tidak heran jika program pengentasan kemiskinan tidak ber-kelanjutan,
akhirnya angka kemiskinan secara absolut di Indonesiai tetap saja tinggi. Tampaknya
dalam merumuskan sebuah kebijakan maupun program yang bertujuan untuk mengentaskan
kemiskinan di Indonesia perlu dilakukan beberapa tahapan ke-giatan. Misalnya,
diawali dengan assesment, dalam tahap ini dilaku-kan merumuskan atau
mengkatagori-kan dimensi-dimensi dan
faktor penyebab kemiskinan,
analisis kebutuhan dan potensi yang dapat dikembangkan, dan merumuskan bentuk-bentuk
program yang di-inginkan oleh penduduk
miskin. Selain itu, dirumuskan pula pihak-pihak yang dapat dilibatkan
dalam kegiatan atau program kemiskinan, serta membuat jadwal pelaksanaannya.
Setelah tahap ini selesai, maka dilanjutkan ke
tahap pelaksanaan kegiatan dan diakhiri dengan tahap monitoring dan
evaluasi. Seperti yang dikemukakan oleh Nazara,
Suhasil (2007:37) menjelaskan tahapan-tahapan dalam merumuskan kebijakan
sebagai berikut; Tahap pertama, melakukan diagnosis dan analisis tentang
kemiskinan. Pada tahap ini dilakukan kegiatan melakukan pengukuran tingkat kemiskinan,
penargetan dan penen-tuan jenis kebijakan atau program yang ingin dibuat. Tahap ke dua, adalah menentukan tujuan,
target dan indikator yang ingin dicapai. Seperti yang dikemukakan, lebih lanjut
oleh Suhasil Nazara (2007) ada beberapa hal yang perlu diperhatikan
dalam menentukan target, yaitu pertama; tujuan
yang ingin dicapai harus menyesuaikan dengan standar internasional yaitu harus
sesuai dengan tujuan MDGs. Kedua, dalam menentukan tujuan perlu memperhatikan
distribusi pendapatan. Ketiga, tujuan ditentukan melalui proses partisipasi
semua pihak. Keempat, tujuan ditentukan
dengan menen-tukan ukuran pencapaian atau benchmark berdasarkan waktu yang tersedia. Kelima, dalam menetukan tujuan agar lebih
tepat sasaran harus berdasarkan pada beberapa ukuran kemiskinan berbeda.
Keenam, tujuan harus dibuat secara spesifik dengan program agar proses monitoring menjadi lebih mudah. Tahap ketiga,
yaitu merancang dan meng-implementasikan program. Hasil dari tahap ini yaitu
berupa peraturan, petunjuk pelaksanaan, dan petunjuk teknis. Pada saat akan mengimplementasikan
program harus dimulai dengan kegiatan sosialisasi program pada taha awal, kemudian
dilanjutkan dengan kegiatan moni-toring selama program berlangsung, dan
diakhiri dengan kegiatan evaluasi ketika program berakhir. Monitoring dilakukan
untuk menyediakan informasi apakah kebijakan program diimplementasikan sesuai
dengan rencana dalam upaya mencapai tujuan. Monitoring ini merupakan alat
manajemen yang efektif, pada kegiatan ini jika implementasi program tidak
sesuai dengan rencana maka dapat
mengidentifikasi letak
masalahnya kemudian dicari penyelesainnya. Sedangkan evaluasi berfungsi untuk melihat
dampak dengan mengisolasi efek suatu intervensi. Kebijakan dalam upaya pengentasan
kemiskinan tentunya dalam implementasi melalui program-program yang berbasis pada
penggalian potensi yang ada di masyarakat itu sendiri. Artinya perlu melibatkan
peran serta masyarakat dalam melaksanakan program, dan pemerintah berperan
sebagai fasilitator. Selain itu perlu juga dirumuskan strategi untuk
keberlangsungan program (kegiatan) di masyarakat yang didukung dengan adanya koordinasi
antara instansi terkait. Berbagai program telah banyak dilakukan, namun
terkesan hanya dapat mengatasi masalah sesaat dan program agar proses monitoring menjadi lebih mudah. Tahap ketiga,
yaitu merancang dan meng-implementasikan program. Hasil dari tahap ini yaitu
berupa peraturan, petunjuk pelaksanaan, dan petunjuk teknis. Pada saat akan mengim-plementasikan
program harus dimulai dengan kegiatan sosialisasi program pada taha awal, kemudian
dilanjutkan dengan kegiatan moni-toring selama program berlangsung, dan
diakhiri dengan kegiatan evaluasi ketika program berakhir. Monitoring dilakukan
untuk menyediakan informasi apakah kebijakan program diimplementasikan sesuai
dengan rencana dalam upaya mencapai tujuan. Monitoring ini merupakan alat
manajemen yang efektif, pada kegiatan ini jika implementasi program tidak
sesuai dengan rencana maka dapat mengidentifikasi letak masalahnya kemudian
dicari penyelesainnya. Sedangkan evaluasi berfungsi untuk melihat dampak dengan
mengisolasi efek suatu intervensi. Kebijakan dalam upaya pengentasan kemiskinan
tentunya dalam implementasi melalui program-program yang berbasis pada
penggalian potensi yang ada di masyarakat itu sendiri. Artinya perlu melibatkan
peran serta masyarakat dalam melaksanakan program, dan pemerintah berperan
sebagai fasilitator. Selain itu perlu juga dirumuskan strategi untuk
keberlangsungan program (kegiatan) di masyarakat yang didukung dengan adanya koordinasi
antara instansi terkait.Berbagai program
telah banyak dilakukan, namun terkesan hanya dapat mengatasi masalah sesaat
dantidak mengatasi akar masalahnya, sehingga relatif lambat dalam upaya
mengatasi kemiskinan. Mungkin perlu dirumuskan bentuk
program yang lebih rasional dan efektif misalnya, dengan merumuskan model perlindungan sosial.
Sumber :
·
Fritz H.S. Damanik, 2014. Sosiologi.
Jakarta: PT.Bumi Aksara
·
https://www.google.co.id/url?q=http://jurnal.unpad.ac.id/kependudukan/article/download/doc1/2434&sa=U&ved=0ahUKEwjPsJaPu6XTAhVLLo8KHQtvCnYQFggnMAg&usg=AFQjCNHBo97iDnlh_41JL5UjPxnh-894IQ